Latest News

Legenda Gunung Watu Bangkai

Loksado yaitu sebuah kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Di kawasan ini terdapat sebuah gunung yang mempunyai nama yang cukup unik, yaitu Gunung Batu Bangkai. Masyarakat setempat menamakannya demikian, sebab di gunung tersebut ada sebuah watu yang ibarat dengan bangkai manusia. Konon, kehadiran watu bangkai tersebut berasal dari sebuah dongeng legenda yang hingga saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Banjar Hulu di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita legenda ini mengisahkan perihal seorang anak pria berjulukan Andung Kuswara yang durhaka kepada umanya. Karena kedurhakaannya, Tuhan menghukum si Andung menjadi batu.

Konon pada zaman dahulu, di suatu tempat di Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, hiduplah seorang janda renta bersama seorang anak laki-lakinya yang berjulukan Andung Kuswara. Ia seorang anak yang baik dan pandai mengobati orang sakit. Ilmu pengobatan yang ia miliki diperoleh dari abahnya yang sudah usang meninggal. Andung dan umanya hidup rukun dan saling menyayangi. Setiap hari mereka bekerja untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Andung mencari kayu bakar atau bambu ke hutan untuk menciptakan lanting untuk dijual, sedangkan umanya mencari buah-buahan dan daun-daunan muda untuk sayur.

Suatu hari, Andung pergi ke hutan seorang diri. Karena keasyikan bekerja, tak terasa waktu telah beranjak senja, maka ia pun bergegas pulang. Di tengah perjalanan, ia mendengar jeritan seseorang meminta tolong. Andung segera berlari menuju arah bunyi itu. Ternyata, didapatinya seorang kakek yang kakinya terjepit pohon. Andung segera menolong dan mengobati lukanya. “Terima kasih banyak, anakku!” kata orang renta itu. Dia kemudian mengambil sesuatu dari lehernya. “Hanya benda ini yang sanggup kai berikan sebagai tanda terima kasih. Mudah-mudahan kalung ini membawa keberun­tungan bagimu,” ucap kakek itu seraya mengulurkan sebuah kalung kepada Andung. Setelah mengobati kakek itu, Andung bergegas pulang ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Andung menceritakan insiden tadi kepada umanya. Usai bercerita, Andung menyerahkan kalung pemberian kakek itu sambil berkata, “Uma, tolong simpan kalung ini baik-baik”. Umanya mendapatkan dan memerhatikan benda itu dengan saksama. “Sepertinya ini bukan kalung sembarangan, Nak. Lihatlah, sungguh indah!” kata Uma Andung dengan takjub. Setelah itu, Uma Andung menyimpan kalung tersebut di bawah tempat tidurnya.

Kehidupan terus berjalan. Pada suatu hari, Andung terlihat melongo seorang diri. “Ya Tuhan, apakah kehidupanku akan ibarat ini selamanya? Aku ingin hari depanku lebih baik daripada hari ini. Tapi…bagaimana caranya?” kata Andung dalam hati. Sejenak ia berpikir mencari jalan keluar. Tiba-tiba, terlintas dalam pikiran Andung untuk pergi merantau. “Hmm…lebih baik saya merantau saja. Dengan begitu saya sanggup mengamalkan ilmu pengobatan yang telah saya peroleh dari abah dulu. Siapa tahu dengan merantau akan mengubah hidupku,” gumam Andung dengan semangat. Namun, apa yang ada dalam pikirannya tidak eksklusif ia utarakan kepada umanya. Rasa ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. Jika ia pergi merantau, tinggallah umanya sendiri. Tetapi, kalau ia hanya mencari kayu bakar dan bambu setiap hari, kemudian kapan kehidupannya bisa berubah. Pikiran-pikiran itulah yang ada dalam benaknya.

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Andung benar-benar sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Keraguannya untuk meninggalkan umanya pun lenyap. Dorongan hati Andung untuk merantau sudah tak terbendung lagi. Suatu hari, ia pun mengutarakan maksud hatinya kepada umanya. “Uma, Andung ingin mengubah nasib kita. Andung tetapkan untuk merantau ke negeri seberang. Oleh sebab itu, Andung mohon izin dan doa restu, Uma,” kata Andung dengan hati-hati memohon pengertian umanya. “Anakku, tolong-menolong Uma sudah bersyukur dengan keadaan kita saat ini. Tetapi, kalau keinginan hatimu sudah tak terbendung lagi, dengan berat hati Uma akan melepas kepergianmu,” sahut Uma Andung menunjukkan izin.

Setelah menerima restu dari umanya, Andung segera berkemas dengan bekal seadanya. Andung membawa masing-masing sehelai kain, baju dan celana. Memang hanya itu yang ia miliki. Ketika Andung hendak meninggalkan gubuk reotnya, Uma berpesan kepadanya. “Andung …, ingatlah Uma! Ingat kampung halaman dan tanah leluhur kita. Jangan pernah melupakan Tuhan Yang Mahakuasa. Walau berat, Uma tak bisa melarangmu pergi. Jika takdir menghendaki, kita tentu akan berkumpul kembali,” kata sang Uma dengan sedihnya.

Mendengar hikmah umanya, Andung tak kuasa menahan air matanya. “Andung, bawalah kalungmu ini. Siapa tahu kelak kau memerlukannya,” ujar Uma Andung melanjutkan. Setelah mendapatkan kalung itu, Andung kemudian berpamitan kepada umanya. Andung mencium tangan umanya, kemudian umanya membalasnya dengan pelukan erat. Sesaat, suasana haru pun mencakup hati keduanya. Ketika Uma memeluk Andung, beberapa tetes air mata menyucur dari kelopak matanya, jatuh di atas bahu Andung. “Maafkan Andung, Uma! Andung berjanji akan segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Andung memberi keinginan kepada umanya. “Iya Nak. Cepatlah kembali kalau sudah berhasil! Hanya kamulah satu-satunya milik Uma di dunia ini,” jawab Uma penuh harapan. Beberapa saat kemudian, Uma berucap kepada Andung. “Segeralah berangkat Andung, biar kau tak kemalaman di tengah hutan.”

Andung mencium tangan umanya untuk terakhir kalinya, kemudian pamit. Andung berangkat diiringi lambaian tangan Uma yang sangat dikasihinya. “Selamat jalan, anakku. Jangan lupa cepat kembali,” teriak Uma dengan bunyi serak. “Tentu, Uma!” sahut Andung sambil berjalan menoleh ke arah umanya. “Jaga diri baik-baik, Uma! Selamat tinggal! Uma gres beranjak dari tempatnya sehabis Andung yang sangat disayanginya hilang di balik pepohonan hutan. Sejak itu, tinggallah Uma Andung sendirian di tengah hutan belantara.

Berbulan-bulan sudah Andung meninggalkan umanya. Andung terus berjalan. Banyak kampung dan negeri telah dilewati. Berbagai pengalaman didapat. Ia juga telah mengobati setiap orang yang memerlukan bantuannya.

Suatu siang yang terik, tibalah Andung di Kerajaan Basiang yang tampak sunyi. Saat menyusuri jalan desa, Andung bertemu dengan seorang petani yang kulitnya penuh dengan koreng dan bisul. Andung kemudian mengobati petani itu. Dari orang tersebut Andung mengetahui kalau Negeri Basiang sedang tertimpa malapetaka berupa wabah penyakit kulit. Karena berhutang kebijaksanaan kepada Andung, orang itu mengajak Andung tinggal di rumahnya. Setiap hari, penduduk yang terserang penyakit berdatangan ke rumah orang renta itu untuk berobat kepada Andung. Seluruh penduduk yang telah diobati oleh Andung sembuh dari penyakitnya. Berita perihal kepandaian Andung dalam mengobati pun menyebar ke seluruh negeri.

Suatu hari, informasi kepandaian Andung mengobati penyakit tersebut hasilnya hingga ke pendengaran Raja Basiang. Sang Raja pun mengutus hulubalang menjemput Andung untuk mengobati putrinya. Beberapa usang kemudian, hulubalang tersebut sudah kembali ke istana bersama Andung. Andung yang miskin dan kampungan itu sangat takjub melihat keindahan bangunan istana. Ia berjalan sambil mengamati setiap sudut istana yang dihiasi ratna mutu manikan. Tak disadari, ternyata sang Raja sudah ada di hadapannya. Andung pun segera memberi salam dan hormat kepadanya. “Salam sejahtera, Tuanku,” sapa Andung kepada Baginda.

Sang Raja menyambut Andung dengan penuh harapan. Dia kemudian memberikan maksudnya kepada Andung. “Hai anak muda! Ketahuilah, putriku sudah dua ahad tergolek tak berdaya. Semua tabib di negeri ini sudah saya kerahkan untuk mengobatinya, namun tak seorang pun yang bisa menyembuhkannya. Apakah kau bersedia menyembuhkan putriku?” tanya sang Raja. “Hamba hanya seorang pengembara miskin. Pengetahuan obat-obatan yang hamba miliki pun sedikit. Jika nantinya hamba gagal menyembuhkan Tuan Putri, hamba mohon ampun Paduka,” kata Andung merendah.

Andung pun dipersilakan masuk ke kamar Putri. Putri tergolek kaku di atas pembaringannya. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tertutup rapat. Walupun pucat pasi,  wajah sang Putri tetap memancarkan sinar kecantikannya. “Aduhai, elok sangat sang Putri,” ucap Andung menaruh hati kepada sang Putri. Sesaat kemudian, Andung pun mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk membangunkan sang Putri. Namun, sang Putri tetap tak bergerak. Andung mulai panik. Tiba-tiba, hati Andung tergerak untuk mengambil kalung pemberian kakek yang ditolongnya dulu. Andung meminta kepada pegawai istana biar disiapkan air dalam mangkuk. Setelah air tersedia, kemudian Andung segera merendam kalungnya beberapa saat. Kemudian air rendaman diambil dan dibacakan doa, kemudian ia percikkan beberapa kali ke lisan sang Putri. Tak berapa kemudian, sang Putri pun terbangun. Matanya yang kuyu perlahan-lahan terbuka. Wajahnya segar kembali. Akhirnya, Putri sanggup berdiri dan duduk di pembaringan.

Semua penghuni istana turut bergembira dan merayakan kesembuhan sang Putri. Paduka Raja sangat berterima kasih atas kesembuhan putri satu-satunya yang sangat ia cintai Atas jasanya tersebut, Andung kemudian dinikahkan dengan sang Putri. Pesta perkawinan dilaksanakan tujuh hari tujuh malam. Semua rakyat bersuka ria merayakannya. Putri tampak berbahagia mendapatkan Andung sebagai suaminya. Demikian pula Andung yang semenjak pandangan pertama sudah jatuh cinta pada sang Putri. Mereka berdua melalui hari-hari dengan hidup bahagia.

Minggu dan bulan terus berganti. Istri Andung pun hamil. Dalam kondisi hamil muda sang Putri mengidam buah kasturi yang hanya tumbuh di Pulau Kalimantan. Karena cintanya kepada sang Putri begitu besar, Andung pun mengajak beberapa hulubalang dan prajurit untuk ikut bersamanya mencari buah kasturi ke Pulau Kalimantan.

Setibanya di Pulau Kalimantan, Andung berangkat ke kawasan Loksado untuk mencari sebatang pohon kasturi yang dikabarkan sedang berbuah di sana. Alangkah terkejutnya Andung, sebab pohon kasturi itu berada sempurna di depan rumahnya dulu.  Andung segera mengajak hulubalang dan para prajuritnya kembali. Rupanya ia tidak mau bertemu dengan umanya.

Mendengar keributan di luar rumahnya, seorang nenek renta renta berjalan terseok-seok menuju ke arah rombongan tersebut. “Andung…, Andung Anakku…!” bunyi nenek renta yang serak memanggil Andung. Dengan terbungkuk-bungkuk nenek itu mengejar rombongan Andung.

Andung menoleh. Ia tersentak kaget melihat sang Uma yang dulu ditinggalkannya sudah renta renta. Karena aib mengakui sebagai umanya, Andung membentak, “Hai nenek tua! Aku yaitu raja keturunan bangsawan. Aku tidak kenal dengan nenek renta dan dekil sepertimu! ujar Andung kemudian memalingkan muka dan pergi.

Hancur luluh hati sang Uma dibentak dan dicaci maki oleh putra kandungnya sendiri. Nenek renta yang malang itu pun berdoa, “Ya, Tuhan Yang Mahakuasa, tunjukkanlah kekuasaan dan keadilan-Mu,” renta renta itu berucap pelan dengan bibir bergetar. Belum kering air liur renta renta itu berdoa, halilintar sambar-menyambar membelah bumi. Kilat sambung-menyambung. Langit mendadak gelap gulita. Badai bertiup menghempas keras. Tak usang kemudian, hujan lebat tumpah dari langit. Andung berteriak dengan keras, “Maafkan aku, Uma…!” Tapi siksa Tuhan tak sanggup dicabut lagi. Tiba-tiba Andung berkembang menjadi watu berbentuk bangkai manusia.

Sejak itu, penduduk di sekitarnnya menamai gunung tempat insiden itu terjadi dengan sebutan Gunung Batu Bangkai, sebab watu yang ibarat bangkai insan itu berada di atas gunung. Gunung Batu Bangkai ini sanggup dijumpai di Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. (SM/sas/8/7-07).
Lanting : rakit kecil.
Uma : ibu
Kai : kakek
Abah : ayah   
http://www.sumbercerita.com

0 Response to "Legenda Gunung Watu Bangkai"

Total Pageviews